Selasa, 05 Oktober 2010

Pimpinan NU Wajib Meneguhkan Prinsip, Menyegarkan Ikhtiar, dan Membentuk Khaira Ummah

Secara estimologi, ‘Nahdlatul Ulama’ terdiri dari dua kata bahasa Arab, nahdlah artinya ‘bangkit’ dan al-ulama’ artinya orang yang mempunyai ilmu atau intelektual. NU dilahirkan untuk maksud mengembangkan dan mempertahankan ortodoksi Islam yang telah dipegang oleh mayoritas ulama Indonesia. Ortodoksi ini adalah ‘Ahlussunah wal Jama’ah’ yang dalam pemahaman dan praktek Islamnya menyandarkan pada mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, dan Hambali. Selain itu, juga merujuk pada teologi Abu Hasan al-Asy’ari dan pemikiran tashawuf Abu al-Qasim al-Junaidy.
            Misi mempertahankan ortodoksi perlu digarisbawahi karena lahirnya NU merupakan respon terhadap upaya-upaya penggusuran terhadap tradisi aswaja yang dilakukan oleh para pengikut faham Wahabi. Namun, selain mempertahankan, NU juga berusaha mengembangkan ortodoksi ini, mengingat pemikiran dan praktek keagamaan dipengaruhi juga oleh perkembangan masyarakat itu sendiri.
Meskipun berlandaskan pada konsep ortodoksi, namun, NU berusaha menjaga keseimbangan. NU memiliki tradisi kreatif namun sangat memperhatikan dan menghargai apa-apa yang hidup dalam masyarakat. NU menjaga tradisi-tradisi yang tidak menyimpang dari prinsip-prinsip kepercayaan Islam. Karena itu, berbeda dengan Wahabi, NU sebagai pemegang sunnah Nabi, menjaga keseimbangan antara pengembangan Islam dan pelestarian apa yang hidup dalam masyarakat yang sesuai dengan kepercayaan yang dipegang NU. Prinsip yang dipegang NU adalah al-muhafazhah ‘ala al-qadhim al-shalih wa al-akhdz bi al-jadid al-ashlah, yakni memelihara apa-apa yang baik yang hidup dalam masyarakat, dan mengambil apa-apa yang lebih baik.
  
Prinsip Dasar NU
            Aswaja yang dikembangkan NU memiliki prinsip-prinsip dasar yang menjadi rujukan bagi tingkah laku sosial dan pemahaman keagamaan warga NU. Prinsip dasar yang bersumber dari al-Qur’an, sunnah, ijma’, dan qiyas ini terus dikembangkan sesuai dengan konteks perkembangan masyarakat Islam dan pemikirannya. Prinsip-prinsip dasar tersebut meliputi:
            Pertama, prinsip tawassuth, yakni jalan tengah, tidak ekstrem kanan atau kiri. Baik dalam bidang hukum (syari’ah), bidang akidah, bidang ahlak, maupun bidang kemasyarakatan, NU selalu mengedepankan prinsip di tengah-tengah yang menjunjung tinggi sikap adil, lurus, serta menjauhi pendekatan bentuk ekstrem.
            Kedua, prinsip tawazun, yakni menjaga keseimbangan dan keselarasan, sehingga terpelihara secara seimbang antara kepentingan dunia dengan akherat, kepentingan pribadi dan masyarakat, serta kepentingan masa kini dan masa datang. Prinsip ini lebih banyak ditujukan untuk persoalan-persoalan yang berdimensi sosial dan politik, dalam rangka menciptakan integritas dan solidaritas sosial umat.
            Dalam politik, pengikut ahlussunnah wal Jama’ah tidak segan-segan mengambil jarak jika berhadapan dengan penguasa yang lalim. Namun, suatu saat mereka bisa akomodatif dalam batas tawazun.
            Ketiga, prinsip tasamuh, yaitu bersikap toleran terhadap perbedaan pandangan, terutama dalam hal-hal yang bersifat furu’iyah, sehingga tidak terjadi perasaan saling terganggu dan saling memusuhi, sebaliknya, akan tercipta ukhuwwah islamiyyah. Berbagai pemikiran yang tumbuh di masyarakat mendapat tanggapan yang apresiatif oleh NU. Keterbukaan yang demikian lebar untuk menerima berbagai pendapat menjadikan NU memiliki kemampuan untuk meredam berbagai konflik umat.
            Keempat, prinsip amar ma’ruf nahi mungkar, yaitu menyerukan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Dengan prinsip ini, NU diharapkan mampu mendorong perbuatan yang baik dalam kehidupan bersama dan memiliki kepekaan untuk menolak semua hal yang dapat merusak.
            Jika keempat prinsip di atas diperhatikan secara seksama, maka dapat dilihat bahwa inti dari ajaran ahlussunnah wal Jama’ah adalah rahmatan li al-‘alamin.

Iktiar-Ikhtiar NU

Pertama, peningkatan silaturrahmi antar ulama;
Kedua, peningkatan kegiatan keilmuan;
Ketiga, peningkatan kegiatan penyiaran Islam, pembangunan sarana peribadatan dan pelayanan sosial;
Keempat, peningkatan taraf hidup dan kualitas hidup masyarakat.

Membentuk Khaira Ummah

Beberapa pengalaman di masa lalu, ketika NU bermain langsung di pentas politik dan aktivitasnya diarahkan di bidang politik praktis, banyak kalangan nahdliyyin menilai bahwa di lingkungan internal NU telah terjadi kemandegan fungsionalisasi. Padahal, khittah NU menyimpan obsesi terbentuknya warga nahdliyyin sebagai umat terbaik (khaira ummah) yang dapat berperan positif di tengah-tengah masyarakatnya. Sehingga, dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, warga nahdliyyin dapat mewarnai proses terbentuknya tatanan khaira ummah atau masyarakat madani. Kegelisahan bersama ini melahirkan pemikiran bahwa NU memerlukan pembentukan watak yang lebih baik. Mabadi Khaira Ummah adalah gerakan pembentukan identitas dan karakter warga NU, melalui upaya pemahaman nilai-nilai luhur yang digali dari paham keagamaan NU.
Sejarah panjang gerakan ini dimulai pada Kongres NU XIII tahun 1935 yang menyimpulkan bahwa kendala utama yang menghambat umat untuk melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar dan menegakkan ajaran agama adalah kemiskinan dan lemahnya posisi ekonomi mereka. Karena itu, pimpinan NU diberi mandat untuk gerakan pembangunan ekonomi. Selanjutnya, para pemimpin NU itu meneliti akar kegagalan umat mengembangkan kekuatan ekonominya. Ternyata kegagalan itu disebabkan faktor sikap mental yang mendasari cara bergaul dan berkiprah di masyarakat dan dunia usaha.
Berdasarkan telaah atas kelemahan tersebut, para pemimpin NU menunjuk tiga prinsip sebagai obat pemecahannya, yaitu:1) al-Shidqu : selalu benar, tidak berdusta; 2) al-Amanah wa al-wafa bi al-‘ahd : menepai janji; 3) al-Ta’awun : tolong-menolong, khusunya di antara nahdliyin.
Tiga prinsip di atas, kini telah mengalami pengembangan, dua butir prinsip ditambahkan untuk mengantisipasi kebutuhan dan persoalan kontemporer. Kedua prinsip tersebut adalah 4) al-‘Adalah : bersikap adil; dan 5) al-Istiqamah : ajeg jejeg, berkelanjutan.
Lebih jauh, Mabadi Khaira Ummah sebagai seruan moral, tidak akan mencapai sasarannya tanpa didukung oleh proses politik yang efektif. NU bukan partai politik, tapi tetap mengemban fungsi sebagai kelompok penekan. NU berkewajiban untuk mengemban aspirasi moral. Tapi membawa aspirasi ke dalam proses politik juga menuntut kekuatan tawar yang memadai. Untuk ini, diperlukan kualitas organisasi dan kematangan kepemimpinan. (Oleh : Nadhif Alawi, ST. ME.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar