Selasa, 05 Oktober 2010

Mengukur Kinerja Pemerintah dan Pemerintah Daerah

Pendahuluan

Sidang Tahunan MPR yang biasanya menelan biaya lebih dari  Rp 15 milyar setiap sidang, yang kadang kala (atau pernah) dimeriahkan dengan adu pukul sebagian anggotanya di podium, dan seringkali meninggalkan berbagai agenda penting yang masih belum juga selesai dikerjakan setiap habis sidang, perlukah diadakan? Di dalam gedung yang megah itu, para elit wakil rakyat biasanya masih terus sibuk membicarakan hal-hal yang berkutat pada tataran konseptual kenegaraan. Sibuk pada tataran ideal. Di lain pihak, dalam kehidupan riil, rakyat yang mereka wakili masih harus berkutat dengan agenda hidupnya yang belum juga beranjak dari terpenuhinya dengan layak sandang, pangan, papan, lapangan pekerjaan, keamanan dan keadilan. Terdapat dua hal yang tampaknya belum menunjukkan titik temu.

Mengamati fenomena yang telah menjadi agenda rutin tersebut, tampaknya masih ada pertanyaan mendasar yang perlu dicarikan jawabnya dan yang bisa kita ambil hikmahnya: perlukah  Sidang Tahunan-MPR tersebut dilakukan kalau ternyata produk dan aktivitasnya tidak menjawab kebutuhan riil yang ada? kalau memang perlu diadakan sebaiknya agenda apakah yang perlu disidangkan? Haruskah diselenggarakan setiap tahun dengan biaya – dari hutang – yang tidak sedikit itu? Apakah dalam sidang tersebut pemerintah sebaiknya menyampaikan laporan pandangan mata ataukah merupakan pihak yang harus menyampaikan laporan kemajuan pelaksanaan pemerintahan? Bagaimana pihak MPR menilai kinerja pemerintah dalam laporan yang disampaikan dalam waktu yang singkat dan, sudah hampir pasti, berisi hal-hal yang baik-baik saja? Apa tolok ukur menilai kinerja pemerintah dalam sidang tersebut? Berbagai pertanyaan tersebut memerlukan jawab dari berbagai sudut pandang. Tulisan ini menyoroti dari salah satu sudut pandang paling mendasar yaitu diperlukannya metode pengukuran kinerja pemerintah yang standard, akurat, objektif.

Metode Pengukuran Kinerja

Manajemen kinerja pemerintahan yang meliputi perancangan sistem, pendeklarasian variabel, mekanisme penerapan, proses pelaporan serta evaluasi dan tindak lanjut yang mencakup efisiensi, kualitas dan efektivitas program pemerintah merupakan topik yang hangat  dikupas di Amerika Serikat sepuluh tahun yang lalu (Blodgett and Newfarmer, 1996; Curcio, 1996; Martin & Kettner, 1996; Tracy, 1996) baik di level pemerintah federal, negara bagian maupun pemerintahan lokal setingkat kota madya.

Penerapan manajemen kinerja pemerintahan ini didorong oleh empat kekuatan utama yaitu The Government Performance and Results Act of 1993 (GPRA), The National Performance Review (NPR), Usaha tolok banding (benchmarking) yang dilakukan oleh negara bagian dan komunitas masyarakat, dan laporan yang diminta oleh The Governmental Accounting Standards Board (GASB).

GPRA menuntut semua lembaga pemerintahan melacak dan melaporkan kinerja program-program yang dicanangkan dengan penekanan utama pada efektivitas hasil yang dicapai. GPRA ini menjadi kekuatan penekan utama yang paling penting yang menghendaki adanya pengukuran kinerja pemerintahan karena merupakan hukum yang ditetapkan di level negara federal.

NPR merupakan penjelmaan dari gerakan untuk ‘menemukan kembali praktek pemerintahan yang benar’ (reinventing government) yang merupakan kekuatan utama lain dalam mempromosikan pengukuran kinerja. Prinsip dasar dari gerakan ini adalah semboyan yang dijiwai oleh “apa yang dapat diukur, itulah yang sudah dikerjakan oleh pemerintah”(Osborne & Gaebler, 1992).

Kekuatan utama lain yang mempromosikan penggunaan pengukuran kinerja adalah adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh beberapa negara bagian dan komunitas masyarakat untuk melakukan tolok banding (benchmarking) atas kinerja yang sudah dicapai di masing-masing lokaliti. Tolok banding (benchmarking) dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara produk, pelayanan, proses kerja dan berbagai ukuran lain terhadap praktek terbaik yang terkait (Spendolini,1992). Beberapa negara bagian (misalnya Colorado, Connecticut, Florida, Georgia, Hawaii, Iowa, Maine, Minnesota, Nebraska, New Mexico, North Carolina, Oregon, Utah) telah mengembangkan atau sedang mengembangkan tolok banding pada berbagai variabel pemerintahan untuk diterapkan pada seluruh atau sebagian negara bagian tersebut. Tiga program utama yang telah dikenal baik di antaranya adalah Oregon Options, Minnesota Milestones dan Florida Benchmarks.

Lembaga terakhir yang mempromosikan pentingnya penerapan manajemen kinerja di sektor pemerintahan adalah GASB yang mensyaratkan setiap pemerintah negara bagian untuk melaporkan efisiensi, kualitas, dan efektivitas pencapaian program mereka. Pelaporan itu meliputi antara lain: pemenuhan pelayanan dalam hal efisiensi program yang dihasilkan, kualitas dan efektivitas program, serta rasio antara usaha pelayanan yang telah dilakukan pemerintah dengan hasil pelayanan yang dinikmati masyarakat.

Kondisi di Indonesia 

Dibandingkan dengan proses penilaian kinerja pada penyelenggaraan pemerintahan di Amerika Serikat seperti yang dibahas dalam paragraf di atas, di negara kita, penilaian kinerja pemerintah masih meninggalkan lobang yang cukup besar. Kontroversi pergantian kepemimpinan di Indonesia gaungnya masih terasa. Aturan yang tercantum dalam Undang-undang Dasar yang hanya mensyaratkan pergantian Presiden karena alasan meninggal dunia, berhalangan tetap dan atau melanggar undang-undang serta haluan negara dirasakan oleh sebagian besar masyarakat memiliki kelemahan yang cukup mendasar.

Pada  kondisi negara yang normal, di mana sistem di segala bidang sudah tertata baik, misalnya sistem demokrasi dan perundangan, sistem peradilan, sistem bisnis dan sebagainya seperti di negara maju, persyaratan pergantian presiden seperti yang tertera dalam Undang-undang Dasar itu tidak menimbulkan masalah. Lain halnya dengan kondisi seperti yang dialami Indonesia saat ini, di mana bukan saja sistemnya masih banyak yang belum tertata tetapi  krisis multi dimensi yang dihadapi menuntut pemerintah untuk memperlihatkan kinerja yang diluar batas biasa (extra ordinary) sehingga diperlukan tolok ukur penilaian kinerja pemerintah yang tidak biasa pula. Hal ini disebabkan, jika hanya digunakan batasan seperti yang tercantum dalam Undang-undang Dasar seperti saat ini, pemerintah yang ‘tidak melakukan apa-apa’ asalkan tidak melanggar undang-undang dan haluan negara tetap berhak untuk bertahan sampai akhir masa jabatan. Padahal kondisi masyarakat saat ini yang sudah kolaps menuntut usaha perbaikan yang segera dan siginifikan.

Cermin yang sangat gamblang untuk kita gunakan sebagai pijakan dalam belajar adalah pemerintahan Presiden Abdurachman Wachid yang tidak cukup lama bertahan itu. Saat itu, pemerintah ‘dirasakan’ tidak melakukan usaha-usaha yang cukup memadai bagi penyelesaian sebagian besar masalah dalam negeri baik masalah keamanan, keselamatan, proses disintegrasi, perbaikan ekonomi, peningkatan daya beli, pengurangan pengangguran, peradilan penjahat politik dan ekonomi dan sebagainya. 

Energi terbesar pemerintah saat itu lebih banyak dihabiskan untuk melakukan kunjungan ke luar negeri, memproduksi konflik, ditambah dengan kinerja jajaran kementrian yang sibuk membantu presiden dalam day to day defense, lobby  dan memproduksi opini yang di luar bidang tanggung jawabnya membuat seolah-olah pemerintah tidak cukup memiliki sense of crisis dan keberpihakan pada masalah riil yang dihadapi masyarakat. 

Walaupun sebetulnya di beberapa bidang yang lain pemerintah mencapai kemajuan yang cukup berarti terutama dalam hal menjamin kemerdekaan mengeluarkan pendapat, membuat citra birokrat seperti halnya warga negara biasa lainnya serta mengurangi cengkeraman berbagai macam institusi yang selama ini nyaris tak tersentuh semacam sekretariat negara dan angkatan bersenjata, namun kemajuan yang dicapai tersebut tereliminir sampai titik nadir.

Eliminasi ukuran keberhasilan di satu aspek oleh kegagalan di aspek yang lain tersebut dikarenakan secara keseluruhan penilaian kinerja pemerintah yang dilakukan saat itu tidak ditempatkan dalam satu kerangka yang komprehensif dan sebelumnya tidak terdapat kepekatan dalam proses penilaiannya. Hal ini membuka peluang masing-masing pihak (legeslatif dan eksekutif) untuk saling klaim dengan bobot berlebih terhadap hal-hal yang dianggap merupakan keunggulannya sekaligus pijakan untuk meyerang kelemahan ‘lawannya’.

Dengan berpijak pada hal tersebut di atas, maka proses pergantian pemerintahan yang dilalui oleh memorandum I, memorandum II dan SI yang lalu tersebut dirasakan oleh sebagian besar masyarakat sebenarnya lebih pada usaha untuk memberhentikan pemerintah berdasarkan pada hal yang lebih tersirat dari pada tersuratnya. Karena secara tersurat, substansi tersebut tidaklah ‘mewakili’ apa yang dituntut dan dirasakan masyarakat. Jika kita cermati, dalam memorandum I, substansi materinya sendiri yaitu Bulogate dan Brunegate masih dalam proses perdebatan dalam pembuktiannya melalui pengadilan. Memorandum II yang dijatuhkan pun, oleh sementara pihak, bukan merupakan urutan (sequential) dari memorandum I. Dan Sidang Istimewa yang digelar justru ‘mengadili’ substansi yang sangat berbeda dari ke dua proses sebelumnya, yang secara kebetulan merupakan blunder yang dilakukan Presiden pada detik-detik terakhir masa jabatannya. Justru secara tersirat, yang mendorong diberhentikannya Presiden adalah ketidakmampuan Presiden Abdurachman Wahid dalam proses mengelola negara secara keseluruhan.

Dengan latar belakang terjadinya fenomena pergantian pemerintahan yang secara substansi mengundang perdebatan tersebut dan untuk menghindarkan terulangnya preseden yang serupa di masa datang, maka kebutuhan metode pengukuran kinerja pemerintah yang lebih objektif, terukur, transparan dan disepakati semua pihak merupakan hal yang tidak terhindarkan jika kita ingin mempraktekan kehidupan bernegara yang lebih baik.

Pengukuran kinerja ini diperlukan untuk mengukur sejauh mana kemajuan dicapai oleh pemerintah dalam mengemban tugasnya. Evaluasi yang dicapai oleh pemerintah terhadap kinerjanya dapat dilaksanakan dalam periode tertentu seperti misalnya setiap dua tahun sekali. Jadi selama masa lima tahun jabatannya, MPR berkesempatan untuk bersidang setiap dua tahun sekali untuk menilai kemajuan kinerja pemerintah (progress report) dan pada tahun terakhir menilai seluruh pertanggung jawabannya. Jadi bukan setiap tahun dengan mengadakan Sidang Tahunan seperti yang dilakukan saat ini. Jangka waktu satu tahun dirasakan terlalu pendek, selain tidak memberikan kesempatan yang cukup bagi pemerintah untuk melaksanakan program-programnya juga akan lebih memboroskan keuangan negara  bagi pelaksanaannya.  Tentu saja mekanisme laporan kemajuan dua tahunan ini perlu diatur dan disepakati yang menyangkut materi yang harus dilaporkan dan dinilai, serta hak dan tanggung jawab masing-masing pihak, baik presiden maupun MPR. Sebagai kerangka dasar penilaian kemajuan kinerja pemerintah adalah seperti yang diajukan dalam poin Rancangan Penilaian Kinerja Pemerintah pada paragraf berikut ini.

Rancangan Penilaian Kinerja Pemerintah

Dari beberapa kerangka rancangan penilaian kinerja yang ada saat ini, Balanced Scorecard (BSC) merupakan pendekatan yang paling populer diterapkan. Pendekatan yang diperkenalkan oleh Prof. Kaplan dari Harvard University Dan David P. Norton, Presiden Renaissance Solutions Inc. pada tahun 1992 ini telah diterapkan di berbagai perusahaan dan pemerintahan. Salah satu pemerintahan yang mengunakan pendekatan ini untuk mengukur kinerjanya adalah pemerintah kota Charlotte di North Carolina, Amerika Serikat.

Terdapat empat perspektif utama pengukuran kinerja yang digunakan yaitu perspektif finansial (financial), perspektif pelanggan (customer), perspektif proses internal (internal business process) serta perspektif pembelajaran dan perkembangan (Learning and growth). Pada masing-masing perspektif tersebut terdiri dari beberapa variabel kinerja yang biasanya dipilih sesuai dengan konteks bidang aktivitasnya maupun yang dipersyaratkan lingkungan di mana organisasi bisnis/ pemerintahan tersebut berada.

Dalam konteks penilaian kinerja pemerintahan Indonesia, variabel-variabel pengukuran kinerja yang dapat diajukan di bawah ke empat perspektif tersebut adalah sebagai berikut.

Perspektif Finansial

Pada dasarnya dalam perspektif finansial, tolok ukur dari pengukuran kinerja pemerintahan adalah tercapainya ukuran-ukuran perbaikan (improvement) di bidang finansial. Ukuran perbaikan ini dapat diperbandingkan dengan pencapaian pada periode sebelumnya maupun diperbandingkan dengan pencapaian negara lain. Bahkan dalam titik yang lebih ekstrim, pencapaian pada beberapa variabel, pada suatu saat nanti, sebaiknya diperbandingkan dengan pencapain terbaik (best practice/ best-in-class) dengan melakukan kaji banding (benchmarking) dengan pencapaian di level dunia.

Variabel-variabel yang dapat digunakan dalam menilai kinerja pemerintah yang termasuk dalam perspektif finansial ini misalnya pertumbuhan ekonomi, penguatan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, penurunan laju inflasi atau laju inflasi yang stabil pada angka terendah yang dapat dicapai pada periode waktu yang lama, peningkatan pendapatan dan daya beli masyarakat relatif terhadap harga barang dan jasa di dalam negeri maupun luar negeri, menyempitnya gap pendapatan berbagai lapisan masyarakat di berbagai sektor dan bidang usaha, peningkatan daya saing produk dan jasa yang dihasilkan dalam pasaran internasional (pertumbuhan ekspor bukan karena penurunan nilai mata uang), tumbuhnya investasi dari para pemodal baik dalam negeri maupun luar negeri, penurunan biaya operasional yang digunakan oleh pemerintah dalam melaksanakan berbagai program kerjanya  (rasio biaya yang dikeluarkan dengan keluaran yang dihasilkan, misalnya: biaya kunjungan ke luar negeri terhadap investasi yang masuk, gaji dan fasilitas yang dibayarkan terhadap hasil kerja, dsb), dan penggunaan sumber-sumber finansial dari kekuatan sendiri, bukan dari hutang.

Perspektif Pelanggan

Dalam konteks negara, pelanggan utama pemerintah adalah warga negara Indonesia (WNI) baik rakyat yang berdiam di wilayah negara kesatuan Republik Indonesia maupun yang berdomisili di negara lain. Setelah itu, pelanggan level berikutnya adalah negara lain yang membina hubungan dalam berbagai bidang dengan RI termasuk di dalamnya warga negara sahabat tersebut.

Pada perspektif pelanggan yang menyangkut rakyat yang menjadi warga negara Indonesia, maka variabel ukuran kinerja pemerintah yang dapat diukur keberhasilannya adalah antara lain: pemerataan hasil-hasil pembangunan antara berbagai kawasan di Indonesia yang secara kasar dapat diukur dari dua hal. Pertama, persentasi beredarnya uang di suatu kawasan relatif terhadap seluruh uang yang beredar di negara tersebut (di mana saat ini diperkirakan lebih dari 60% uang hanya beredar di Jakarta). Kedua pemerataan lapangan kerja baik bagi orang-orang yang terdidik maupun pekerja biasa ( di mana kecenderungan  para lulusan S1 perguruan tinggi saat ini mayoritas ‘terpaksa’ menuju Jakarta, Surabaya, Bandung dan Medan). Variabel yang termasuk ke dalam perspektif pelanggan lainnya adalah meningkatnya kepuasan masyarakat terhadap berbagai macam program pemerintah, kebijakan dan langkah riil pemerintah yang dapat direpresentasikan dengan sedikitnya gejolak kemasyarakatn yang terjadi, kualitas dan kuantitas demonstrasi yang dihadapi pemerintah, teredamnya berbagai konflik sosial yang terjadi, hilangnya rasa ketakutan mengeluarkan pendapat (termasuk di dalamnya meningkatnya kesantunan dalam mengeluarkan pendapat baik oleh berbagai kalangan masyarakat, politisi maupun media masa), menurunnya kuantitas dan kualitas kriminalitas, meningkatnya level kebutuhan masyarakat yang tidak hanya terus berkutat pada masalah kebutuhan dasar seperti sandang, pangan dan papan saja tetapi pada level yang lebih tinggi dan masih banyak lagi variabel yang dapat diturunkan dalam perspektif pelanggan yang menyangkut kebutuhan warga negara ini.

Variabel untuk mengukur perspektif pelanggan dalam kaitannya dengan negara lain di antaranya adalah pertama, banyaknya warga negara lain yang ikut menikmati hasil kerja pemerintah yang misalnya dapat diukur melalui jumlah, lama dan penyebaran kunjungan wisatawan luar negeri, jumlah pekerja kelas menengah dan bawah yang mencari nafkah ke Indonesia yang bukan merupakan paket dari bantuan asing yang menyertainya tetapi karena memang adanya daya tarik secara ekonomis maupun sosial. Kedua, terpeliharanya hubungan bilateral dan multilateral yang saling menguntungkan di berbagai bidang: pendidikan, perdagangan, industri, kesehatan dan tenaga kerja.

Perspektif Internal

Dalam perspektif internal, fokus utama ukuran yang dapat dipakai untuk menilai kinerja pemerintah adalah lebih pada proses yang terjadi. Beberapa variabel ukuran kinerja yang dapat diterapkan di antaranya adalah efisisiensi pelayanan terhadap kebutuhan masyarakat yang misalnya dapat diukur dari proses perijinan yang harus ditempuh warga negara dalam berbagai urusan baik menyangkut lama waktu pelayanan maupun kompleksitas prosedur yang ditempuh; produktivitas aparat dalam melaksanakan tugasnya; menurunnya/ tiadanya ongkos-ongkos siluman yang harus dibayarkan dalam pengurusan berbagai macam kebutuhan; peningkatan jumlah dan kualitas aturan-aturan yang dikeluarkan yang berkaitan dengan jaminan berusaha yang adil dan transparan; peningkatan daya saing sektor-sektor yang menjadi tanggung jawab pemerintah seperti misalnya BUMN, Perguruan Tinggi, Pelayanan Kesehatan dan sebagainya; rasio kebocoran anggaran; penggunaan anggaran pada bidang yang tepat dan urgent (the right money for the right needs); penurunan hutang; efektivitas komunikasi antara pemerintah dengan rakyatnya.

Perspektif Pembelajaran dan Perkembangan

Dalam tataran yang paling dasar dari pengukuran kinerja pemerintah adalah ukuran yang ditinjau dari perspektif pembelajaran dan perkembangan. Perspektif ini, dalam beberapa variabel, selain lebih berorientasi pada jangka panjang juga seringkali ukuran-ukuran yang dpakai lebih bersifat kualitatif dari pada kuantitatif dan bahkan seringkali lebih bersifat subjektif yang artinya dapat dirasakan namun sulit untuk diungkapkan. Variabel yang dapat digunakan antara lain peningkatan pemberdayaan masyarakat; peningkatan partisipasi masyarakat dalam keamanan, penjagaan asets umum, pendidikan dan bisnis; keterlibatan berbagai elemen masyarakat dalam proses pengambilan keputusan; kesamaan hak dan kemampuan untuk mengakses berbagai sumber informasi (misalnya kesempatan untuk memperoleh pendidikan yang murah terutama di jenjang sampai dengan level sekolah menengah atas, informasi sektor usaha yang dapat dimasuki, tender-tender yang dapat diikuti dan sebagainya); peningkatan daya kreativitas dan inisiatif dalam berbagai bidang (seni, budaya, usaha); peningkatan sarana dan prasarana serta pelayanan di bidang perhubungan, telekomunikasi, energi dan  air minum dan penghargaan yang layak atas pekerjaan yang dilakukan (gap pendapatan antar berbagai jenjang karir dan profesi)

Penutup

Kebutuhan sistem baru penilaian kinerja pemerintah saat ini merupakan salah satu hal yang tidak terelakkan. Kebutuhan tersebut di dasarkan atas tiga alasan utama :

Pertama, dalam kondisi krisis multi dimensi yang sudah relatif lama dialami ini, penilaian kinerja pemerintah sudah selayaknya tidak lagi didasarkan pada proses penilaian dan evaluasi yang biasa. Dalam proses penilaian yang biasa tersebut, dengan hanya banyak menghabiskan waktu, tenaga dan biaya untuk berbagai proses seremonial atau bahkan tanpa melakukan apa-apa, cukup dengan tidur-tiduran saja pemerintah ‘berhak’ untuk dipertahankan mandatnya sampai masa jabatan berakhir asal tidak melanggar undang-undang dan haluan negara.

Kedua, kondisi ‘luar biasa’ yang dihadapi Indonesia saat ini menuntut pemerintah untuk merespons secara cepat dan tepat agar dapat mengembalikan tatanan kehidupan berbangsa, bernegara, dan berusaha, pulih seperti sedia kala, syukur-syukur dapat segera mencapai peningkatan

Ketiga, pengalaman pergantian pemerintahan yang pernah terjadi memberikan pelajaran bagi kita bahwa perlu dikaji kembali proses penilaian kinerja pemerintah yang didasarkan pada tolok ukur dan variabel-variabel yang lebih jelas dan objektif. Selain substansi materi yang masih sering diperdebatkan dalam berbagai proses penggantian tersebut (memorandum I, II dan SI), proses yang ditempuh pun, selama ini, membuka peluang dilakukannya langkah-langkah secara sepihak yang dapat mengarahkan pada proses tarik-menarik kekuatan (Dekrit, SI dipercepat, pergantian personil jabatan tertentu) yang menyebabkan kondisi kontra produktif yang cukup lama karena masyarakat, pengusaha dan pejabat berada dalam situasi menunggu tanpa berani mengambil keputusan-keputusan yang bersifat strategis.

Kerangka penilaian kinerja pemerintah yang diajukan dalam tulisan ini berangkat dari adanya kebutuhan seperti yang disinyalir dalam paragraf di atas selain adanya kecenderungan di negara maju bahwa penilaian kinerja pemerintahan sudah saatnya diletakkan dalam proporsi seperti halnya menilai eksekutif dalam organisasi bisnis. Empat perspektif utama yaitu finansial, pelanggan, proses internal serta pembelajaran dan perkembangan dapat dirinci menjadi variabel-variabel terukur yang selain lebih dapat dinilai secara objektif juga dapat diset sejak mula sebagai strategi pengelolaan negara. Namun demikian, hal utama yang harus dijadikan pegangan adalah bahwa sistem manajemen kinerja hendaklah dipandang sebagai sebuah sistem yang dinamis, yang bukan saja harus selalu di update sesuai dengan kebutuhan dan perubahan yang terjadi, namun juga mensyaratkan tolok banding yang tidak hanya menitik beratkan pada pencapaian hasil saja tetapi juga pada proses dalam mencapai hasil tersebut. Berbagai variabel usulan dalam tulisan ini masih bersifat tentatif dan perlu untuk dikaji lebih mendalam dalam proses penerapannya. Dengan adanya variabel yang terukur dan objektif ini setidaknya dapat dihindarkan pemborosan keuangan (untuk lobi-lobi, penyamaan pendapat, rapat-rapat baik terang maupun gelap, provokasi, mempengaruhi opini melalui media) dan meningkatkan jenjang elit (baik eksekutif maupun legislatif) untuk mulai bekerja berdasarkan knowledge base tidak lagi common sense, intuitif dan self interpretation.
 (Oleh: Darmawan Wibisono. 15 Juli 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar