Kamis, 14 Oktober 2010

Keadilan Sosial, Apa Kabarmu kini?

 "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" itulah sila kelima dari Pancasila. Tapi di manakah gerangan menghilangnya? Sulit sekali dicari saat ini. Apakah dia telah pergi, hingga tak bisa lagi kita rasai? Mungkin kemajuan yang telah dicapai selama lima tahun ini begitu mudah terlihat oleh mata kita. Jalan semakin mulus, mobil-mobil semakin banyak bersesakan, melaju diatasnya. Hotel-hotel dan mal-mal tumbuh di mana-mana. Rumah mewah dan mobil mewah sudah biasa, tidak lagi membuat kita terkesima. Tapi, semakin banyak juga orang-orang yang tinggal di pinggir-pinggir sungai, di kolong jalan layang atau gubuk-gubuk di tempat sembarangan.
        Hari ini, sebagian besar masyarakat Indonesia kesulitan dalam mencari nafkah. Pekerjaan tidak banyak, sektor industri lesu. Sektor pertanian terpuruk oleh cuaca dan hama, kalau pun selamat, tidak banyak untung karena harga pupuk dan obat begitu melambung. Sektor perdagangan pun terkulai oleh minimnya daya beli masyarakat karena gagalnya panen.Kita lihat, begitu timpangnya kondisi masyarakat desa dengan mereka yang biasa membuang uang di mal-mal kota.

Ketimpangan Pendapatan
Keadilan sosial memang bukan lah sama rata - sama rasa. Tapi, bukan pula ketimpangan yang begitu dalam. Wajar jika orang satu dengan lainnya berbeda penghasilan, karena kemampuan, ketekuan dan keahlian yang berbeda. Tapi, apakah dengan keahlian yang yang sama, dengan pangkat yang sama, dan sama-sama mengabdi pada negara, pemerintah memberikan penghargaan yang timpang pada mereka. Inilah cerita Pegawai Negeri kita.
        Sejak Sri Mulyani memproklamasikan renumerasi untuk kementeriannya, mereka yang duduk di Departemen Keuangan telah menikmati peningkatan pendapatan hampir lima kali lipat gaji pokoknya. Demikian juga Kehakiman dan beberapa instansi lainnya menyusul dinaikkan kesejahteraannya, meski masih di bawah Departemen pengendali uang negara. Berikutnya, para guru berhasil mendapatkan tanggapan atas protesnya. Kini, dengan justifikasi 'sertifikasi', mereka setiap bulannya membawa penghasilan hampir dua kali lipat sebelumnya. Tapi bagaimana dengan nasib pegawai lainnya yang bukan golongan mereka tadi. Di antara mereka yang telah mendapatkan renumerasi saja terjadi ketidakadilan, apalagi dengan yang tidak mendapatkan....? Begitu besar ketimpangannya.
        Seorang teman dari Direktorat Jenderal Pajak, membela korps nya dengan argumentasi berikut: " Kami adalah yang bersusah panyah mencari uang untuk negara. Maka, layak bagi kami untuk mendapatkan pendapatan sebesar itu." Mari kita cermati argumentasi itu.. Sesungguhnya amat naif pendapat itu, negara memungut pajak adalah untuk dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk fasilitas dan dukungan perbaikan kesejahteraan. Bukan untuk dibagi-bagi untuk para pengelolaanya.
        Pajak adalah sebagian uang yang dipungut dari transaksi karena adanya value added atau dari pendapatan unit usaha atau perorangan, untuk diberikan kepada negara. Pajak ditetapkan dengan undang-undang. Pegawai pajak adalah mereka yang diberi kewenangan untuk memungut pajak. Bukan karena keahlian mereka, semua orang bisa melakukannya. Pegawai lainnya, atau polisi, atau tukang parkir pun mampu melakukannya, jika mereka diberi wewenang. Karena senjata pungutan pajak adalah aturan UU, bukan keahlian dan ketekunan. Padahal hanya keahlian dan ketekunan yang layak menjadikan pendapatan satu kelas pekerjaan boleh berbeda.

Pendapatan Nasional
Sesungguhnya para pegawai, tentara dan polisi tidak memberikan kontribusi apa-apa bagi pendapan nasional. Jadi, jangan berbangga diri wahai birokrasi. Kita mengenal GNP (Gross National Product), ukuran produktivitas nasional ini dapat dihitung dari dua sisi. Pertama, adalah sisi pengeluran. Mengukur GNP dari sisi pengeluaran adalah melibatkan konsumsi semua orang dalam negara. Semua orang memiliki kontribusi. Tapi ini ukuran semu, untuk memudahkan penghitungan saja. Riilnya, adalah GNP yang dihitung berdasrakan pendapatan nasional yang dihasilkan oleh dunia usaha dan perdagangan. Mereka yang berkontribusi adalah perusahaan, UMKM, pedagang, masyarakat pertanian, peternakan dan perikanan.
        Jadi, jika mau mencari siapa yang paling berbudi memberikan pendapatan untuk negeri ini.., bukan lah para pegawai negeri apalagi pegawai pajak. Dunia usaha dan masyarakat di sektor riil lah para pahlawan yang memberikan uang untuk negeri ini. Mereka lah yang paling layak mendapatkan bagian terbesar dari dana pajak. Pegawai Negeri hanya "amil", yang jika kita umpamakan dalam aturan zakat bagi kaum muslim, hanya boleh mengambil untuk sekedarnya agar sistem bisa berjalan.

Keadilan Sosial Adalah Amanat Undang-Undang Dasar
Hari ini, kita semakin banyak menyaksikan ketimpangan sosial ada di mana-mana. Lebih mencemaskan lagi, sebagian pembangunan didanai oleh pinjaman luar. Sementara, pajak lebih banyak terserap untuk belanja pegawai dan membayar cicilan. Jika dana masyarakat terus digunakan untuk bagi-bagi kesejahteraan penyelenggara negara, sementara untuk pembangunan mengandalkan pinjaman luar. Maka, kapan giliran rakyat untuk menikmati keadilan? Karena sampai anak cucu kita nanti, rakyat masih terus mencicil utang yang tidak mereka ketahui akadnya.
        Padahal, keadilan sosial adalah amanat Pancasila, unsur dari Undang-Undang Dasar 1945. Apakah dengan mengabaikan keadilan sosial, pemerintah bisa dianggap melanggar undang-undang? Masyarakat tidak terlalu peduli dengan hal ini. Yang terpenting adalah adalah adanya langkah-langkah khusus untuk mengatasi masalah ketimpangan sosial dan kesejahteraan masyarakat. Karena, jika masalah sosial terus-menerus didiamkan, suatu saat kelak dapat meledak menjadi kerusuhan atau teror kepada masyarakat. Mudah-mudahan mereka yang sedang memimpin mau mengerti...Amien.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar