Waktu lima tahun kepemimpinan Drs. H. Tafta Zani, MM. dan Drs. KH. Muhammad Asyiq sebentar lagi usai. Lima tahun sudah cukup untuk mengukur berhasil tidaknya kepemimpinan ini. Atas apa yang telah dilakukan selama lima tahun ini, masyarakat sudah bisa menilai apakah mereka telah memilih yang benar atau tidak. Mungkin ada beberapa masalah yang belum teratasi, tapi secara objektif bisa dilihat bahwa greget perubahan itu ada dan beberapa janji telah ditepati.
Pada periode pemerintahan ini, beberapa masalah fundamental sudah banyak terselesaikan, utamanya adalah infrastruktur jalan dan keirigasian. Diakui atau tidak, inilah prestasi paling berharga bagi Zani-Asyiq. Disusul kemudian, penggelontoran dana ADD (Alokasi Dana Desa) yang jumlahnya cukup signifikan dan dibarengi oleh dukungan program PNPM yang sebagian dananya berasal dari pusat. Keberhasilan lain yang cukup pantas dicatat adalah sudah terealisasinya perencanaan pembangunan yang melibatkan masyarakat melalui musrenbang, restrukturisasi birokrasi pemerintah, termasuk pembentukan Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu. Hal-hal tersebut secara umum merupakan kabar gembira kepada masyarakat bahwa pemerintahan ini membawa perubahan. Namun demikian, sejumlah catatan kritis masih tersisip di dalamnya.
Pembangunan prasarana dan sarana fisik haruslah ditempatkan sebagai upaya berkelanjutan dan bukan semata memenuhi janji politik. Masyarakat pasti gembira melihat jalan-jalan menjadi baik dan janji menjadi sebuah realisasi. Namun, mereka juga masih termangu pada kegiatan pembangunan sarana fisik lain yang mungkin masih belum terlalu perlu, seperti pemugaran pagar sejumlah perkantoran. Sehingga timbul pertanyaan, sejauhmana pemerintah kabupaten mempertimbangkan prioritas pembangunan? Karena di sisi lain, sejumlah jalan dan saluran masih belum tersentuh perbaikan.
Restrukturisasi jajaran birokrasi Pemkab oleh sebagian kalangan masyarakat dirasa masih belum memuaskan karena memang menimbang-nimbang perlu tidaknya sebuah instansi, berikut struktur dan fungsinya pasti mengandung subjektivitas. Namun intinya, struktur yang terbentuk harus lah berdasarkan urut prioritas dan telah memperhitungkan cost-benefit-nya. Masyarakat tidak banyak rewel, mereka hanya menghendaki siapapun yang duduk sebagai pejabat birokrasi Pemkab adalah mereka yang benar-benar kompeten, memiliki integritas yang kuat, merakyat, dan religius. Kenapa demikian? Karena masyarakat ingin memastikan bahwa mereka yang terpilih untuk mengelola Demak akan mampu mengarahkan masa depan dengan baik.
Selanjutnya, penyusunan rencana kerja yang partisipatif merupakan bagian dari prinsip-prinsip good governance, yaitu penyelenggaraan pemerintahan wajib melibatkan seluruh stakeholder (pemerintah dan unsur-unsur non pemerintah). Prinsip kedua good governance juga menyatakan bahwa pemerintahan diadakan adalah dalam rangka merespon masalah dan kepentingan publik. Di samping itu, pola hubungan antara pelaku dalam penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat, tidak harus strukturalis formalis, tetapi bisa sangat egaliter dan fleksibel.
Karena itu, diundangnya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan merupakan sinyal yang baik bagi pengembangan civil society. Hal ini diharapkan tidak hanya sekedar memenuhi formalitas ketentuan peraturan saja, namun benar-benar sebagai upaya untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan. Karena idealnya, apa pun proses pembangunan itu, tujuannya adalah untuk masyarakat.
Menengok Pola Strategi Lima Tahun Ini
Secara umum, pola strategi kebijakan di Demak selama lima tahun ini masih terkesan ragu-ragu, memilih jalan aman, atau sekedar mengikuti ketentuan peraturan yang ada. Belum muncul adanya strategi yang cerdik untuk mengatasi masalah dalam tekanan keterbatasan. Padahal, dalam kondisi Demak yang mewarisi banyak persoalan dan keterbatasan, pola-pola biasa tidak bisa diandalkan untuk menyudahi masalah.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh pemerintahan yang baru secara internal antara lain adalah: kurangnya personil, minimnya kapasitas birokrat sehingga kurang kreatif, minimnya ketersediaan data dan kemampuan untuk menganalisa, budaya kerja yang formalistik, minimnya PAD, korupsi, fokus pembangunan yang kurang jelas, lemahnya perencanaan, serta lemahnya pengelolaan ke-Public Relation-an.
Sementara masalah-masalah eksternal antara lain adalah: tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran, lemahnya pendidikan dan keahlian masyarakat, minimnya investasi, minimnya Dana Alokasi Umum (DAU), kurangnya prakarsa dan swadaya masyarakat, serta pengaruh kondisi sosial ekonomi nasional dan global.
Karena banyaknya masalah yang dihadapi dan juga kondisi ekonomi, politik, dan sosial budaya terus berubah sangat dinamis, maka pendekatan strategi—bukan perencanaan konvensional biasa, menjadi pilihan metode terbaik. Namun demikian, paradigma strategi pada implementasinya di sektor publik ternyata tidak bisa sepenuhnya dikloning dari sektor swasta. Strategi di sektor publik lebih kaku sehingga perencanaan publik pun menjadi kurang tangkas. Bahkan, strategi yang biasanya tidak berumur panjang karena harus responsif, di sektor publik bisa diadaptasi menjadi sebuah perencanaan lima tahunan. Sebagai konsekuensinya, strategi tersebut menjadi agak kabur.
Dalam sistem pemerintahan di tingkat kabupaten, dikenal beberapa dokumen perencanaan, yaitu: Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) untuk 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk 5 tahun, dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) untuk 1 tahun. Tidak banyak yang bisa dikomentari dari RPJP karena memang sangat abstrak. Kita baru bisa menganalisa dan berkomentar pada RPJM, karena dokumen inilah gambaran strategi yang dimau oleh Pemkab. Sementara untuk RKPD, seharusnya dokumen ini adalah perwujudan taktis dari strategi-strategi yang tertuang dalam RPJM.
RPJM disusun berdasarkan visi dan misi yang dilontarkan bupati dan wakil bupati terpilih pada saat Pilkada. Namun demikian, penjabaran visi dan misi tersebut sangat multiinterpretatif dan multidimensional. Karenanya, ketika turun menjadi sebuah program dan kegiatan, kadang menjadi aneh karena semua bisa mengaku telah mengacu pada visi dan misi bupati/wakil bupati. Padahal sesungguhnya kurang erat kaitannya.
Sebagai sebuah strategi, RPJM Kabupaten Demak masih belum mampu memberikan gambaran gamblang (skenario yang baik) bagaimana mewujudkan visi dan misi bupati/wakil bupati. Di tengah keterbatasan dana pembangunan, untuk dapat menjadi skenario yang baik, RPJM mestinya memiliki fokus yang jelas. Sehingga, apabila disusun sebuah diagram sistemik dapat terlihat bahwa program dan kegiatan yang dilaksanakan Pemkab semua tegas bermuara ke visi dan misi bupati/wakil bupati. Bahkan, jika menginginkan hasil yang lebih memuaskan, skenario yang ada di RPJM dan RKPD bisa diinteraksikan atau disimulasikan.
Di antara upaya menuju good governance
, kebijakan yang fokus inilah yang tampaknya masih perlu banyak perbaikan. Sementara upaya yang lain, yaitu: menyediakan pelayanan publik yang transparan dan dapat diprediksi, menciptakan penyelenggara negara yang accountable, menyediakan pelayanan yang efektif dan efisien, dan mengikutsertakan kelompok masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan, sudah terlihat arahnya.Pada periode pemerintahan ini, beberapa masalah fundamental sudah banyak terselesaikan, utamanya adalah infrastruktur jalan dan keirigasian. Diakui atau tidak, inilah prestasi paling berharga bagi Zani-Asyiq. Disusul kemudian, penggelontoran dana ADD (Alokasi Dana Desa) yang jumlahnya cukup signifikan dan dibarengi oleh dukungan program PNPM yang sebagian dananya berasal dari pusat. Keberhasilan lain yang cukup pantas dicatat adalah sudah terealisasinya perencanaan pembangunan yang melibatkan masyarakat melalui musrenbang, restrukturisasi birokrasi pemerintah, termasuk pembentukan Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu. Hal-hal tersebut secara umum merupakan kabar gembira kepada masyarakat bahwa pemerintahan ini membawa perubahan. Namun demikian, sejumlah catatan kritis masih tersisip di dalamnya.
Pembangunan prasarana dan sarana fisik haruslah ditempatkan sebagai upaya berkelanjutan dan bukan semata memenuhi janji politik. Masyarakat pasti gembira melihat jalan-jalan menjadi baik dan janji menjadi sebuah realisasi. Namun, mereka juga masih termangu pada kegiatan pembangunan sarana fisik lain yang mungkin masih belum terlalu perlu, seperti pemugaran pagar sejumlah perkantoran. Sehingga timbul pertanyaan, sejauhmana pemerintah kabupaten mempertimbangkan prioritas pembangunan? Karena di sisi lain, sejumlah jalan dan saluran masih belum tersentuh perbaikan.
Restrukturisasi jajaran birokrasi Pemkab oleh sebagian kalangan masyarakat dirasa masih belum memuaskan karena memang menimbang-nimbang perlu tidaknya sebuah instansi, berikut struktur dan fungsinya pasti mengandung subjektivitas. Namun intinya, struktur yang terbentuk harus lah berdasarkan urut prioritas dan telah memperhitungkan cost-benefit-nya. Masyarakat tidak banyak rewel, mereka hanya menghendaki siapapun yang duduk sebagai pejabat birokrasi Pemkab adalah mereka yang benar-benar kompeten, memiliki integritas yang kuat, merakyat, dan religius. Kenapa demikian? Karena masyarakat ingin memastikan bahwa mereka yang terpilih untuk mengelola Demak akan mampu mengarahkan masa depan dengan baik.
Selanjutnya, penyusunan rencana kerja yang partisipatif merupakan bagian dari prinsip-prinsip good governance, yaitu penyelenggaraan pemerintahan wajib melibatkan seluruh stakeholder (pemerintah dan unsur-unsur non pemerintah). Prinsip kedua good governance juga menyatakan bahwa pemerintahan diadakan adalah dalam rangka merespon masalah dan kepentingan publik. Di samping itu, pola hubungan antara pelaku dalam penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat, tidak harus strukturalis formalis, tetapi bisa sangat egaliter dan fleksibel.
Karena itu, diundangnya partisipasi masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan merupakan sinyal yang baik bagi pengembangan civil society. Hal ini diharapkan tidak hanya sekedar memenuhi formalitas ketentuan peraturan saja, namun benar-benar sebagai upaya untuk mengikutsertakan masyarakat dalam pembangunan. Karena idealnya, apa pun proses pembangunan itu, tujuannya adalah untuk masyarakat.
Menengok Pola Strategi Lima Tahun Ini
Secara umum, pola strategi kebijakan di Demak selama lima tahun ini masih terkesan ragu-ragu, memilih jalan aman, atau sekedar mengikuti ketentuan peraturan yang ada. Belum muncul adanya strategi yang cerdik untuk mengatasi masalah dalam tekanan keterbatasan. Padahal, dalam kondisi Demak yang mewarisi banyak persoalan dan keterbatasan, pola-pola biasa tidak bisa diandalkan untuk menyudahi masalah.
Masalah-masalah yang dihadapi oleh pemerintahan yang baru secara internal antara lain adalah: kurangnya personil, minimnya kapasitas birokrat sehingga kurang kreatif, minimnya ketersediaan data dan kemampuan untuk menganalisa, budaya kerja yang formalistik, minimnya PAD, korupsi, fokus pembangunan yang kurang jelas, lemahnya perencanaan, serta lemahnya pengelolaan ke-Public Relation-an.
Sementara masalah-masalah eksternal antara lain adalah: tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran, lemahnya pendidikan dan keahlian masyarakat, minimnya investasi, minimnya Dana Alokasi Umum (DAU), kurangnya prakarsa dan swadaya masyarakat, serta pengaruh kondisi sosial ekonomi nasional dan global.
Karena banyaknya masalah yang dihadapi dan juga kondisi ekonomi, politik, dan sosial budaya terus berubah sangat dinamis, maka pendekatan strategi—bukan perencanaan konvensional biasa, menjadi pilihan metode terbaik. Namun demikian, paradigma strategi pada implementasinya di sektor publik ternyata tidak bisa sepenuhnya dikloning dari sektor swasta. Strategi di sektor publik lebih kaku sehingga perencanaan publik pun menjadi kurang tangkas. Bahkan, strategi yang biasanya tidak berumur panjang karena harus responsif, di sektor publik bisa diadaptasi menjadi sebuah perencanaan lima tahunan. Sebagai konsekuensinya, strategi tersebut menjadi agak kabur.
Dalam sistem pemerintahan di tingkat kabupaten, dikenal beberapa dokumen perencanaan, yaitu: Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) untuk 20 tahun, Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) untuk 5 tahun, dan Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD) untuk 1 tahun. Tidak banyak yang bisa dikomentari dari RPJP karena memang sangat abstrak. Kita baru bisa menganalisa dan berkomentar pada RPJM, karena dokumen inilah gambaran strategi yang dimau oleh Pemkab. Sementara untuk RKPD, seharusnya dokumen ini adalah perwujudan taktis dari strategi-strategi yang tertuang dalam RPJM.
RPJM disusun berdasarkan visi dan misi yang dilontarkan bupati dan wakil bupati terpilih pada saat Pilkada. Namun demikian, penjabaran visi dan misi tersebut sangat multiinterpretatif dan multidimensional. Karenanya, ketika turun menjadi sebuah program dan kegiatan, kadang menjadi aneh karena semua bisa mengaku telah mengacu pada visi dan misi bupati/wakil bupati. Padahal sesungguhnya kurang erat kaitannya.
Sebagai sebuah strategi, RPJM Kabupaten Demak masih belum mampu memberikan gambaran gamblang (skenario yang baik) bagaimana mewujudkan visi dan misi bupati/wakil bupati. Di tengah keterbatasan dana pembangunan, untuk dapat menjadi skenario yang baik, RPJM mestinya memiliki fokus yang jelas. Sehingga, apabila disusun sebuah diagram sistemik dapat terlihat bahwa program dan kegiatan yang dilaksanakan Pemkab semua tegas bermuara ke visi dan misi bupati/wakil bupati. Bahkan, jika menginginkan hasil yang lebih memuaskan, skenario yang ada di RPJM dan RKPD bisa diinteraksikan atau disimulasikan.
Di antara upaya menuju good governance
Membuat sebuah strategi yang fokus memang tidak mudah, dibutuhkan kajian yang mendalam dengan menggunakan metode yang tepat, kemampuan berpikir multidimensi dan tidak linier, ketersediaan data, disiplin terhadap prioritas, dan keberanian menghadapi konflik. Karena adanya potensi konflik itulah, sebuah strategi sangat membutuhkan dukungan public relation (PR) yang bagus.
Dalam lima tahun ini, Pemkab masih terkesan mengambil jalan aman. Beberapa hal yang harusnya diberikan kebijakan yang tegas, ternyata tidak diperlakukan demikian (seperti masalah UNISFAT). Namun demikian, ketegasan yang dimaksud bukannya ketegasan yang kaku, tapi ketegasan yang disertai dialog dalam rangka mendapatkan manfaat yang lebih besar.
Strategi Ke Depan
Dalam pemerintahan di tingkat kabupaten, strategi pembangunan menurut sumbernya dapat dipilah menjadi dua, yaitu strategi yang berasal dari birokrasi dan strategi yang berasal dari kepala daerah. Kedua sumber tersebut saling berinteraksi memberi pertimbangan dan usulan, kemudian keluar menjadi satu strategi atas nama Pemkab. Namun, karena banyaknya item kegiatan, biasanya sumber dari birokrasi menjadi lebih dominan. Hal ini karena kepala daerah tidak memiliki waktu dan ketelitian yang cukup untuk mempelajari seluruh kegiatan yang direncanakan.
Akibat dominannya strategi yang bersumber dari birokrasi, maka kemungkinan muncul ego sektoral, kepentingan jangka pendek, tidak kreatif ( mengulang), kurang jeli melihat persoalan di lapangan, dan melenceng dari visi (kurang fokus). Hal ini disebabkan oleh masalah-masalah birokrasi sebagaimana disebutkan di atas yang belum selesai dibenahi.
Ke depan, Pemkab tidak cukup hanya melaksanakan prinsip-prinsip good governance, tetapi juga harus kreatif menciptakan inovasi-inovasi kebijakan baru. Kreasi inovasi kebijakan diharapkan dapat menjadi terobosan dan memotong lingkaran persoalan yang masih membelit. Untuk dapat menciptakan kreasi kebijakan, Pemkab harus memanfaatkan perkembangan keilmuan dan belajar banyak dari pengalaman sebelumnya dan di tempat lain. Selanjutnya, banyak alternatif metode yang bisa digunakan untuk membantu menganalisa masalah dan mencari pilihan strategi terbaik.
Agar mampu menciptakan inovasi kebijakan yang cerdik, pertama-tama, Pemkab harus membenahi masalah-masalah internalnya. Untuk itu, perlu adanya peningkatan kapasitas birokrasi melalui penempatan personil sesuai kompetensi dan potensinya, melakukan regenerasi, memperbaiki sistem pendataan di semua badan dan dinas, reformasi budaya kerja yang mengedepankan kinerja substantif (output) daripada prosedur dan aturan formal belaka, optimalisasi pemanfaatan dana, penegakan hukum dan aturan terhadap masalah korupsi, memperjelas fokus pembangunan, memperkuat kapasitas perencana daerah, serta memperkuat kapasitas ke-Public Relation-an.
Sementara itu, untuk menentukan fokus pembangunan, perlu suatu kajian khusus terhadap masalah-masalah eksternal yang dihadapi. Kemungkinan, tingginya tingkat kemiskinan dan pengangguran berkaitan dengan lemahnya pendidikan dan keahlian masyarakat, minimnya investasi, kurangnya prakarsa masyarakat, dan pengaruh kondisi nasional dan global. Karena itu, fokus strategi pembangunan kabupaten Demak mestinya adalah mengatasi masalah kemiskinan dan pengangguran.
Fakta menunjukkan, kemiskinan dan pengangguran lebih dominan terjadi di pedesaan. Karena itu, sangat rasional bila pembangunan lebih mengarah ke pedesaan dibanding perkotaan. Di samping itu, perkotaan memiliki kapasitas untuk dikerjasamakan dengan swasta dalam hal pendanaan dan pengembangannya. Sementara pedesaan tidak memiliki kapasitas tersebut, sehingga pemerintah harus tampil sendiri. Hal ini sesuai dengan tugas pemerintah untuk mengatasi market failure.
Penutup
Di bagian akhir ini, penulis ingin menyampaikan bahwa apa yang dilakukan oleh kepemimpinan Drs. H. Tafta Zani, MM. dan Drs. KH. Muhammad Asyiq di Demak selama lima tahun ini secara umum cukup menggembirakan. Greget perubahan bisa dirasakan. Namun demikian, Pemkab masih perlu memantapkan strategi yang lebih fokus dan lebih berani untuk bersikap.
Strategi Demak ke depan, tidak cukup hanya berusaha mewujudkan good governance, tapi harus bisa memunculkan inovasi-inovasi kebijakan yang cerdik. Karena di tengah masalah minimnya DAU, maka tanpa kecerdikan, Pemkab akan segera stagnan atau mungkin juga akan kolaps. Karena itu, Pemkab tidak boleh terjebak dalam rutinitas dan formalistis. Pemkab harus mengutamakan substansi pembangunan, lebih fleksibel, dan berpikir jauh ke depan. Pemkab harus mampu memecahkan masalah dalam tekanan keterbatasan yang ada untuk mendapat kemanfaatan maksimal. Istilah kerennya, Pemkab tidak cukup melaksanakan good governance tetapi harus menjadi good corporate governance.
(Oleh: Nadhif Alawi, ST. ME.)
000O000
REFERENSI:
1. Pemerintah Kabupaten Demak, “Rencana Pembangunan Jangka Panjang Kabupaten Demak (RPJP)”.
2. Pemerintah Kabupaten Demak, “Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kabupaten Demak (RPJM)”.
3. BPS Kabupaten Demak, “Demak dalam Angka 2004”.
4. BPS Kabupaten Demak, “Demak dalam Angka 2005”.
5. BPS Kabupaten Demak, “Demak dalam Angka 2006”.
6. BPS Kabupaten Demak, “Demak dalam Angka 2007”.
7. BPS Kabupaten Demak, “Demak dalam Angka 2008”.
8. BAPPEDA Kabupaten Demak, “Delapan Kelompok Data Pengembangan Sistem Informasi Profil Daerah Kabupaten Demak”.
9. Dwiyanto, Agus., “Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah”, Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, 2003.
10. ADB, “Good Governance” http://www.adb.org
11. IMF, “IMF Concept of Good Governance” http://www.imf.org
12. FNS, “Tata Pemerintahan: Warga Negara Sebagai Mitra”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar