Selasa, 21 Desember 2010

Bangsa Ini Butuh Revolusi


”Wa maa kholaqtul jinna wal insa illaa liya’buduun”
”Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.”
(QS. Adz-Dzaariyaat : 56)

Belanja, Awal Malapetaka

Dahulu, di masa orangtua kita, orang cukup untuk peduli pada bagaimana dan apa yang akan dimakan esok bersama keluarganya. Bagaimana mereka menyediakan pakaian untuk sendiri dan anak-anak. Lantas, jika ada kelonggaran rizki, mereka membeli kendaraan yang akan membawa mereka menempuh jarak. Itu pun tidak perlu mewah, apalagi jumlahnya lebih dari satu.

Dahulu, orang tidak butuh sesuatu secara berlebihan. Orang juga tidak menjual secara berlebihan. Orang dulu sesungguhnya tidak lebih miskin dari orang zaman sekarang. Orang sekarang juga sesungguhnya tidak lebih kaya dari orang dulu. Hanya zaman memang sudah jauh berubah, penuh dengan hipnotis-hipnotis materialisme yang menyesatkan.

Memang orang dilahirkan dengan kebutuhan makan, sandang dan tempat tinggal. Tapi mereka tidak dilahirkan untuk peduli dengan berapa kendaraan yang bisa dia beli. Orang tidak dilahirkan untuk selalu membeli atas apa yang dilihatnya diperdagangkan. Yang menjadi perhatian bagi mereka adalah kestabilan dan kecukupan hidup.

Orang menjadi sangat bernafsu dalam berbelanja karena kerakusan akibat hipnotis kapitalisme yang mengelabui orang agar membeli dan terus membeli. Orang yang berkuasa atas modal (kapitalis) telah mencekokkan budaya konsumtif dan cara berpikir materialistis.

Kapitalisme dan materialisme ini yang menjadi racun dunia. Kapitalisme merayu orang agar terus konsumtif, bahkan memberi cara mudah untuk membeli. Sementara kaum materialistis terus merengek agar selalu disediakan barang untuk dibeli. Akibatnya hutan terus digunduli, minyak bumi terus disedot tanpa henti, mineral tambang dikuras, dan polusi menjadi-jadi.

Kerakusan materialisme menyebabkan orang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan uang agar dapat membeli. Akibatnya, korupsi, tipu-menipu dan kepalsuan merajalela. Orang telah jauh meninggalkan asalnya. Mestinya, orang dilahirkan untuk mengabdi kepada Penciptanya. Orang dihadirkan karena dipercaya Allah untuk menjaga dan memelihara bumi.


Ayo Revolusi

Kini, bangsa ini telah sedemikian rusak oleh otak materialime penghuninya. Entah, berapa bencana lagi yang harus datang, hingga memungkinkan bangsa ini untuk berubah.

”Maa ashoobaka min khasanatin fa minallah, wa maa ashoobaka sayi atin fa min nafsik, wa arsalnaka linnasi rasula wa kafa billahi syahida”
”Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. Dan cukuplah Allah menjadi saksi”
(QS. An Nisaa : 79)

Berubah lah, tanah air ini telah rusak. Karena hutan gundul, setiap tahun beberapa kali bangsa ini merasakan banjir. Karena mangrove dibabat, abrasi dan rob semakin jauh menggrogoti daratan. Karena air tanah terus dikuras dan bangunan-bangunan pencakar langit terus bertambah, tanah kita semakin amblas. Mungkin, tinggal beberapa tahun lagi tempat tinggal kita akan dikelilingi air, lalu tenggelam.

Kini waktunya sebuah revolusi digulirkan. Kesadaran harus ditularkan, karena jika tidak berubah, bangsa ini tidak akan bertahan. Bangsa ini harus kembali hidup dalam kesederhanaan. Ambil dan beli secukupnya, jangan berlebih dan tamak. Menjadi kaya bukan lah tujuan hidup. Konsumtif bukan lah tujuan kita dilahirkan.

SIAPA BUTUH ANGKA GDP?

Gross Domestic Product atau yang disingkat GDP dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian suatu negara. Ada dua cara untuk melihat statistik ini. Pertama adalah dengan menganggapnya sebagai pendapatan total dari setiap orang di dalam suatu perekonomian. Kedua, adalah dengan melihatnya sebagai pengeluaran total atas output barang dan jasa dalam suatu perekonomian. Dalam teori ekonomi selalu dikatakan, bahwa GDP mengukur sesuatu yang dipedulikan orang banyak---yaitu pendapatan mereka, output barang dan jasa yang diminta rumah tangga, swasta dan pemerintah

GDP sesungguhnya adalah angka abstrak yang orang tidak memperdulikannya, karena angka ini sama sekali tidak berpengaruh pada mereka. Angka ini hanya dibutuhkan oleh pimpinan-pimpinan politik sebagai hipnotis untuk meyakinkan orang bahwa mereka telah berhasil sebagai pemimpin.

GDP pada hampir seluruh negara di dunia dihitung berdasarkan pengeluaran masyarakat (aspek konsumtif). Cara melihat GDP sebagai ukuran keberhasilan ini secara substatif sangat menyesatkan. Karena suatu negara dianggap tumbuh apabila konsumsinya meningkat. Tidak mempedulikan siapa yang melakukan konsumsi atau siapa yang memproduksi barang dan jasa. Sama sekali tanpa melihat apakah konsumsi ini merata atau tidak. Sehingga, dengan akumulasi kapitalisasi dana dan investasi di suatu titik, tanpa melihat wilayah atau kelompok marjinal yang semakin miskin, negara yang bertambah GDP-nya dianggap mengalami pertumbuhan positif.

GDP semestinya bisa menjadi agak lebih bermakna apabila dilihat dari aspek pendapatan. Minimal, lembaga statistik memiliki data pendapatan setiap orang dengan lebih akurat sehingga bisa dilakukan pemetaan kelompok atau wilayah mana yang minim pendapatannya. Data ini kemudian bisa menjadi acuan bagi para pemimpin untuk membuat kebijakan yang tepat.