Rabu, 12 Juni 2013

Perubahan Iklim, Dirasakan Tapi Diingkari



Beberapa waktu belakangan ini kita masih menyaksikan turunnya hujan yang cukup besar intensitasnya, meski mestinya saat ini sudah memasuki musim kemarau.  Beberapa waktu yang lalu, Bappeda Kabupaten Demak bekerjasaa dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyelenggarakan Focus Group Discussion tentang perubahan iklim yang mengundang SKPD terkait di Kabupaten Demak, GMKG Semarang dan Professor Yohanes dari Univesitas Diponegoro.
        Memulai  diskusi, ibu dari BMKG menyatakan bahwa efek perubahan iklim tidak cukup signifikan di Semarang dan Demak. Menurut beliau, selama kurun waktu sepuluh tahun belakangan ini, BMKG telah menginventarisir kondisi cuaca tahunan. Hasilnya, hanya terjadi pergeseran awal atau akhir musim penghujan atau kemarau sebesar maksimal  1 dasarian (10 hari).
       Selanjutnya, Profesor Yohanes dari Teknik Sipil UNDIP menimpali bahwa hasil kajian yang dilakukannya menyebutkan bahwa  sea level rised  di semarang tidak signifikan selama sepuluh tahun terakhir, yaitu sebesar 7,5 cm. Artinya, setiap tahun hanya terjadi kenaikan muka air laut sebesar 0,75 cm. Mengenai abrasi, Yohanes menyatakan bahwa abrasi pantai sayung disebabkan oleh reklamasi pantai marina sepanjang 1 km ke arah laut yang mengakibatkan perubahan arah dan kecepatan ombak dan arus, sehingga berdampak pada wilayah di sekitarnya, termasuk Sayung. Hal ini diperparah oleh terjadinya pendangkalan di pelabuhan tanjung emas, yang selanjutnya dikeruk mengakibatkan perubahan arah dan kecepatan ombak dan arus yg semakin menggerus daerah Sayung.
         Data yang berhasil dihimpun oleh Yohanes menyatakan bahwa di Morosari garis pantai mundur 650 m selama 10 tahun. Sementara itu, mengenai masalah rob, di sayung dan semarang telah terjadi land subsidance yang cukup signifikan sehingga memberikan kontribusi terhadap rob.

Perubahan Iklim yang Dirasakan

Mulai lah diskusi menjadi menarik karena munculnya tanggapan dari SKPD dan masyarakat. Diawali oleh Sekretaris Bappeda Kabupaten Demak, Ir. Suyatman, MM., beliau menyampaikan data bahwa  Jembatan Kali Gonjol  terus dikejar oleh kenaikan air laut, sehingga saat ini nelayan tidak lagi bisa melalui di bawahnya. Padahal, desain jembatan dirancang sangat  jauh di atas sea level. Selanjutnya, di Sungai Sayung, telah dibangun bendungan penahan air laut beberapa tahun lalu. Namun, ternyata setelah dua tahun ini ternyata bendung penahan air laut sudah tidak mengatasi ketinggian muka air laut. Artinya, diakui atau tidak, faktanya telah terjadi kenaikan muka air laut yang sangat signifikan. Bahkan, dalam 2 tahun lebih dari 50 cm.

       Selanjutnya, Ir. Heri Wuryanto, MP., dari Dinas Pertanian menyatakan dengan tegas bahwa dampak perubahan iklim  untuk Demak adalah banjir akibat (badai
 la nina) dan kekeringan (sebagai efek dari badai el nino). Untuk mengantisipasi masalah itu, Dinas Pertanian mengadakan SLI (sekolah lapangan iklim) untuk memprediksi masa tanam yang tepat bagi petani.
        Perwakilan dari OISCA Ali Mahmud, menambahkan bahwa daerah Gebang, Kecamatan Bonang, yang sepuluh tahun lalu masih berupa sawah, kini telah berubah menjadi tambak. Selanjutnya, masih di Gebang, air laut sudah masuk jauh ke dalam, sampai 10 km dari hilir sungai.

Sadarkan dan Antisipasi

Biarpun BMKG dan para profesor berkata tidak atas perubahan-perubahan yang terjadi pada pola iklim  dunia, wa bil khusus Indonesia. Namun, faktanya para petani, nelayan, dan kita yang berhubungan langsung dengan panas terik matahari, hujan badai, dan angin kencang mengalami dampaknya. Maka, yang terpenting adalah bagaimana kita semua ini sadar akan kenyataan tersebut adalah nyata, dan selanjutnya berusaha mengantisipasi dampak yang ditimbulkannya. Untuk apa kita mengantisipasi? Agar diri kita, tempat tinggal kita, serta usaha bisnis, pertanian, dan perikanan selamat. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar