Beberapa waktu belakangan ini
kita masih menyaksikan turunnya hujan yang cukup besar intensitasnya, meski
mestinya saat ini sudah memasuki musim kemarau. Beberapa waktu yang lalu, Bappeda Kabupaten
Demak bekerjasaa dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
menyelenggarakan Focus Group Discussion
tentang perubahan iklim yang mengundang SKPD terkait di Kabupaten Demak, GMKG
Semarang dan Professor Yohanes dari Univesitas Diponegoro.
Memulai diskusi, ibu dari BMKG menyatakan bahwa efek
perubahan iklim tidak cukup signifikan di Semarang dan Demak. Menurut beliau,
selama kurun waktu sepuluh tahun belakangan ini, BMKG telah menginventarisir
kondisi cuaca tahunan. Hasilnya, hanya terjadi pergeseran awal atau akhir musim
penghujan atau kemarau sebesar maksimal
1 dasarian (10 hari).
Selanjutnya, Profesor Yohanes
dari Teknik Sipil UNDIP menimpali bahwa hasil kajian yang dilakukannya
menyebutkan bahwa sea level rised di semarang
tidak signifikan selama sepuluh tahun terakhir, yaitu sebesar 7,5 cm. Artinya,
setiap tahun hanya terjadi kenaikan muka air laut sebesar 0,75 cm. Mengenai
abrasi, Yohanes menyatakan bahwa abrasi pantai sayung disebabkan oleh reklamasi
pantai marina sepanjang 1 km ke arah laut yang mengakibatkan perubahan arah dan
kecepatan ombak dan arus, sehingga berdampak pada wilayah di sekitarnya,
termasuk Sayung. Hal ini diperparah oleh terjadinya pendangkalan di pelabuhan
tanjung emas, yang selanjutnya dikeruk mengakibatkan perubahan arah dan
kecepatan ombak dan arus yg semakin menggerus daerah Sayung.
Data yang berhasil dihimpun oleh
Yohanes menyatakan bahwa di Morosari garis pantai mundur 650 m selama 10 tahun.
Sementara itu, mengenai masalah rob, di sayung dan semarang telah terjadi land subsidance yang cukup signifikan
sehingga memberikan kontribusi terhadap rob.
Perubahan Iklim yang Dirasakan
Mulai lah diskusi menjadi menarik
karena munculnya tanggapan dari SKPD dan masyarakat. Diawali oleh Sekretaris
Bappeda Kabupaten Demak, Ir. Suyatman, MM., beliau menyampaikan data bahwa Jembatan Kali Gonjol terus dikejar oleh kenaikan air laut, sehingga
saat ini nelayan tidak lagi bisa melalui di bawahnya. Padahal, desain jembatan
dirancang sangat jauh di atas sea level. Selanjutnya, di Sungai Sayung,
telah dibangun bendungan penahan air laut beberapa tahun lalu. Namun, ternyata
setelah dua tahun ini ternyata bendung penahan air laut sudah tidak mengatasi
ketinggian muka air laut. Artinya, diakui atau tidak, faktanya telah terjadi
kenaikan muka air laut yang sangat signifikan. Bahkan, dalam 2 tahun lebih dari
50 cm.
Selanjutnya, Ir. Heri Wuryanto,
MP., dari Dinas Pertanian menyatakan dengan tegas bahwa dampak perubahan iklim
untuk Demak adalah banjir akibat (badai
la
nina) dan kekeringan (sebagai efek dari badai el nino). Untuk mengantisipasi masalah itu, Dinas Pertanian
mengadakan SLI (sekolah lapangan iklim) untuk memprediksi masa tanam yang tepat
bagi petani.
Perwakilan dari OISCA Ali Mahmud,
menambahkan bahwa daerah Gebang, Kecamatan Bonang, yang sepuluh tahun lalu
masih berupa sawah, kini telah berubah menjadi tambak. Selanjutnya, masih di
Gebang, air laut sudah masuk jauh ke dalam, sampai 10 km dari hilir sungai.
Sadarkan dan Antisipasi
Biarpun BMKG dan para profesor
berkata tidak atas perubahan-perubahan yang terjadi pada pola iklim dunia, wa bil khusus Indonesia. Namun,
faktanya para petani, nelayan, dan kita yang berhubungan langsung dengan panas
terik matahari, hujan badai, dan angin kencang mengalami dampaknya. Maka, yang
terpenting adalah bagaimana kita semua ini sadar akan kenyataan tersebut adalah
nyata, dan selanjutnya berusaha mengantisipasi dampak yang ditimbulkannya. Untuk
apa kita mengantisipasi? Agar diri kita, tempat tinggal kita, serta usaha bisnis,
pertanian, dan perikanan selamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar